Brusshh!
Aku langsung terbangun duduk di ranjang tempat tidurku. Sekujur tubuhku basah begitu pula dengan ranjangku. Dingin, apa ini?
**
Aku merenggut sepanjang sarapan. Aku merasa jengkel terhadap kakak laki-lakiku, kak Brian. Tadi pagi, atau lebih pasnya barusan, kak Brian membangunkanku dengan cara yang tidak menyenangkan, ya, seperti yang kau lihat, dia menyiramku dengan seember air dingin.
“APA-APAAN INI?!” teriakku sesaat setelah kesadaranku pulih. Dengan penuh emosi, aku menatap kak Brian yang berdiri di samping ranjang sambil memegang sebuah ember plastik bewarna merah. Dia menatapku sambil nyengir kuda.
“Pagi, Celia. Hari yang indah, ya?” kata kak Brian sambil cengengesan. Aku langsung naik darah.
“KELUAR!!” teriakku mengusir kak Brian dari kamarku. Lalu untuk selanjutnya, uh, aku tak mau bilang.
Aku sudah mengadu keorangtuaku, tapi mereka tak mau tahu urusan. Dan sekarang, aku melihat sebuah tampang mencemooh dari wajah kak Brian, menjengkelkan sekali.
Sebenarnya, kak Brian itu baik. Dia selalu sayang padaku. Setiap ada masalah menimpaku, dia selalu membantuku. Dia kakak yang baik, begitu kata teman-temanku.
Aku dan kak Brian satu sekolahan. Aku kelas 7, sedangkan kak Brian kelas 9, kami bersekolah di SMP Harapan Nusa Indah. Jadi, jika ada masalah atau gangguan dari temanku, aku tinggal mengadu ke kakakku. Aku senang sekali, mempunyai kakak seperti kak Brian. Tapi, terkadang dia suka kelewatan. Seperti tadi pagi, itu yang sering sekali membuatku jengkel.
“Segar, Celia?” tanya kak Brian iseng ketika kami dalam perjalanan menuju sekolah. Aku merenggut sambil menghentakan-hentakan kaki.
Kak Brian tertawa sambil mengusap-ngusap kepalaku. Dengan otomatis tanganku menepis tangan kak Brian.
“Celia? Ada apa?” tanya kak Brian bingung. “Sudah, dong. Jangan marah.”
“Aku benci kakak! Untuk apa, sih tadi kakak menyiramku?!” tanyaku dengan marah. Sebenarnya, aku sendiri juga bingung kenapa tiba-tiba aku marah, padahal sejak dulu aku senang jika kak Brian mengusap-ngusap kepalaku, tapi entah kenapa, hari ini rasa jengkelku tidak bisa menghilang.
“Ayolah, itu kan sudah berlalu.” kata kak Brian memelas. Aku langsung membuang muka.
“Aku tak mau bicara dengan kakak, aku benci kakak!” kataku dengan sangat ketus. Aku mempercepat laju jalanku.
“Hah?” tanya kak Brian kebingungan.
“AKU BENCI KAKAK!” teriakku dengan sangat kencang, dan bersamaan dengan itu kami sampai di gerbang sekolah. Aku segera berlari menuju kelasku, meninggalkan kak Brian di depan gerbang.
Di dalam hati, aku bertanya ada apa dengan diriku?
**
Selama belajar, kepalaku pusing. Aku bingung, kenapa tiba-tiba aku marah?
Aku tak pernah bertengkar dengan kakakku. Walaupun sering sekali merasa kesal atau jengkel, tapi tak pernah berlarut-larut seperti ini.
“Celia, kamu kenapa?” tanya salah satu temanku, Graice ketika istirahat.
“Hah?” pikiranku langsung membuyar.
“Kau sakit? Sedari tadi, kamu bengong terus.” kata Graice khawatir.
“Ah, tidak ada apa-apa,” jawabku sambil tersenyum kecut. “Ke kantin, yuk?” Graice tersenyum. Lalu kami beranjak pergi ke kantin.
Di koridor sekolah, tanpa sengaja aku bertemu kak Brian bersama dengan temannya, kak Zulhan. Aku memalingkan wajahku sambil terus berlalu. Kak Brian juga diam saja ketika aku melewatinya.
“Oh, aku mengerti,” kata Graice tiba-tiba, ketika sudah berada di depan perpustakaan. Mendengarnya, aku langsung menelan ludah.
“Ini tidak seperti yang kau pikirkan...”
Terlambat, Graice keburu memotong bicaraku, “Kamu bertengkar dengan kakakmu, ya?” tanya Graice seraya tersenyum lembut. “Sebenarnya, aku sudah curiga.”
Aku menunduk. Aku merasa sedih.
“Sebaiknya kau minta maaf ke kak Brian. Selama ini dia selalu menjagamu, kan? Selalu sayang kepadamu, kan?” kata Graice sambil mengandeng tanganku. Aku mengangguk pelan lalu tersenyum tipis.
Graice tersenyum, dengan otomatis aku memeluknya.
“Aku senang mempunyai teman sepertimu. Aku sayang kepadamu,” ucapku dengan tulus.
Graice membalas pelukanku, “Aku juga.” Lalu dia melepas pelukan. “Pulang sekolah, nanti, ingat?”
“Ya.”
**
Ting... Tong...
Bunyi bel pulang bergema di setiap sudut sekolah. Aku bergegas keluar kelas, lalu mencari kak Brian untuk meminta maaf. Tapi, sayangnya kak Brian sudah tidak ada di sekolah. Tadi, aku sudah memeriksa kelas 9-1, kelasnya sudah kosong.
Pasti, dia sudah ada dirumah, kataku kepada diri sendiri. Maka, aku pulang menuju rumah.
Setelah sampai dirumah, tak ada kak Brian. Kata ibu, dia belum pulang. Maka aku pergi lagi ke sekolah
Kakak di mana, sih? pikirku ketika di jalan.
Ketika melewati jalan Mawar VI yang letaknya tak jauh dari sekolah, ada sebuah keramaian. Banyak anak-anak dengan seragam SMP Harapan Nusa Indah berkerumun. Sepertinya ada kecelakaan, atau apa. Aku tidak tahu.
“Ada apa sih, Kak?” tanyaku kepada seorang kakak kelasku yang kukenal, kak Hara.
“Ada anak sekolahan kita, kecelakaan. Kata anak-anak yang melihat kejadiannya, yang kecelakaan itu murid kelas 9,” jawab kak Hara.
“Kejadiannya gimana?” tanyaku lagi. Anak kelas 9? Entah kenapa, kok ada firasat buruk...?
“Eng, kata Nirmala, sih ada anak kelas 9 mau menyebrang jalan. Terus tiba-tiba ada motor muncul dengan kcepatan tinggi, jadi ketabrak anaknya. Tapi, aku gak tahu juga,” jawab kak Hara tidak terlalu yakin.
“Ya sudah, makasih ya,” ucapku. Lalu aku memandang kerumunan tersebut.
Karena penasaran, aku mendekati kerumunan itu. Setelah memaksa diri masuk kerumunan, aku langsung terdiam melihat anak yang tertimpa kecelakaan itu...
“Ti...dak... mung..kin. Kakak...!”
**
Kak Brian langsung dibawa ambulans menuju rumah sakit terdekat. Ada aku di sampingnya menemani. Ada juga seorang suster duduk di sebelahku berusaha menenangkanku.
“Tenang saja, dik. Dia masih bernafas,” kata suster itu. Aku menunduk. Rasanya aku ingin menangis.
Sesampainya di rumah sakit, kak Brian langsung dibawa ke UGD. Aku menunggu di ruang tunggu, sambil berdoa. Aku takut kehilangan kakakku. Badanku terasa sangat lemas.
“Celia!” Ibu memanggilku. Aku menoleh, lalu berdiri. Beliau langsung memeluk sambil menangis. Ada ayah muncul tak lama kemudian setelah ibu. Ayah masih memakai kemeja kantornya, sepertinya setelah ayah pulang kerja, mereka langsung menyusulku ke rumah sakit.
“Mana Brian?” tanya ibu disela-sela isak tangisnya.
“Dia masih di UGD,” kataku pelan.
“Berdoa saja, Celia, berdoa saja,” kata ayah sambil memegang pundakku. Aku menatapnya dengan tatapan ‘apakah ayah yakin?’.
Ah, semoga kak Brian baik-baik saja.
**
“Kak Brian!” Aku langsung masuk ruang rawat kak Brian. Dia tergeletak di ranjang, dengan perlahan dia membuka kelopak matanya.
“Ce...lia...” suaranya masih terdengar sayup. Aku memeluk erat kak Brian. Tanpa disadari, air mataku jatuh. Ayah dan ibu berdiri berdampingan dekat pintu. Mereka terlihat sangat sedih.
“Saya tinggal sebentar, ada keperluan..” kata seorang dokter yang tadi menangani kakak. Ayah mengangguk, lalu dokter itu pergi keluar.
“Kak Brian... kakak baik-baik saja?” tanyaku sambil terisak. Dia tersenyum lembut, ada sedikit bulir air mata tersisa di matanya.
“Seper...tinya ...begi..tu,” jawabnya sambil memandangku. Wajahnya terlihat pucat.
“Kak, aku minta maaf. Aku yang salah, seharusnya aku enggak marah sama kakak,” kataku sambil menangis sejadi-jadinya. “Aku... sayang kakak...”
“Aku... jug... akh!” tiba-tiba saja kak Brian memegangi kepalanya. “Sa...kit...!!”
“Kakak, kakak tidak kenapa-kenapa?” tanyaku cemas. Aku memandang ibu. Dia tersenyum kecut.
“Kakak... kakak...” air mataku mulai menetes lagi.
“Celia... aku minta... maaf...” kata kak Brian. “Aku...” Tiba-tiba kak Brian berhenti bicara. Dia terbatuk-batuk. Dokter segera datang, bersama asisten-asistennya mereka langsung mengurus kakak. Aku menyingkir lalu mendekati orangtuaku.
Ayah langsung memeluk ibu, yang menangis pelan. Aku terdiam, air mataku menetes. Ayah mengiring kami keluar meninggalkan kakak bersama dokter. Kulihat wajah kak Brian untuk terakhir kalinya, dia tersenyum dengan seberkas air mata di sudut matanya.
Kak Brian...
**
“Ah..” desahku ketika kulirik kalender yang terpajang tak jauh dariku. 27 Mei, hari ulang tahun kak Brian.
Aku mengeluarkan sebuah foto lalu meratapi foto lama kak Brian itu. Di foto itu, dia sedang tersenyum lebar sambil berpose. Aku ingat sekali, foto ini diambil ketika liburan ke Australia. Ketika aku masih kelas 5 SD sedangkan kak Brian kelas 7 SMP.
Jika dipikir-pikir, itu sudah lama sekali. Sekarang saja aku sudah kelas 10 SMA, artinya 3 tahun sejak kematian kakakku.
Sekarang aku tinggal, tidak lagi bersama ibu dan ayah. Aku menyewa apartemen, dan tinggal di London. Ya, berkat beasiswa yang kudapat selepas SMP, aku dapat melanjutkan pendidikan ke luar negeri.
Aku senang sekali, walau harus berpisah ibu dan ayah. Aku dapat mengapaikan cita-cita kak Brian yang tidak tercapai untuknya. Setidaknya itu adalah hadiah ulang tahun kak Brian dariku, dan sebagai ucapan maaf untuknya.
“Selamat ulang tahun, ya,” kataku pelan sambil mencium foto kak Brian, tanpa kusadari air mataku jatuh. Aku rindu padanya, aku ingin melihatnya lagi, aku ingin sekali melihat senyuman lembutnya. Aku memandang sebuah boneka di meja dekat meja. Kata ibu, boneka itu adalah hadiah ucapan maaf dari kakakku yang tak sempat kak Brian berikan. Aku juga tidak tahu pasti, tapi katanya boneka itu ada di dalam tas kakak ketika kecelakaan itu.
Aku mengambil boneka itu lalu memperhatikannya, sambil tersenyum. Lalu kualihkan perhatianku ke luar jendela.
Ah, kakak. Jika kakak ada disini mengawasiku. Aku ingin kakak tahu, kalau aku SAYANG PADAMU, dan akan selalu begitu.
**